SINTAKSIS BAHASA ROTE - LEKSI INGGUOE
Bahasa Rote merupakan salah satu bahasa kelompok bahasa Ambon Timur (Saidi, 1994: 25). Bahasa Rote adalah bahasa yang digunakan di Pulau Rote (pulau di sebelah barat pulau Timor dan merupakan pulau paling selatan di Indonesia). Berdasarkan data De Clercq (1876) bahwa Bahasa Rote terdiri dari 6 dialek yaitu: 1) Thie, Loleh, dan Ba’a; 2) Termanu, Talae, dan Keka; 3) Korbaffo; 4) Landu, Renggou, Oepao, Bilba, Diu, Lelenuk, dan Bokai; 5) Delha dan Oenale; 6) Dengka dan Lelain. Sedangkan menurut Manafe (1884) dalam ‘Akan Bahasa Rotti’ Bahasa Rote digolongkan menjadi 9 dialek yaitu: a) Ringgou, Oepao, dan Landu; b) Bilba, Diu, dan Lelenuk; c) Korbaffo; d) Termanu, Keka, dan Talae; e) Bokai; f) Baa dan Loleh; g) Dengka dan Lelain; h) Thie; i) Oenale dan Delha (Manafe dalam Fox, 1986: 178-180). Di pihak lain Fanggidae menyebut adanya 6 dialek dalam bahasa Rote yaitu dialek Rote Timur, dialek Pantai Baru, dialek Rote Tengah, dialek Lobalain, dialek Rote Barat Laut, dan Rote Barat Daya. Pembagian ini berdasarkan kesamaan dialektis (Fanggidae, 1998: 2-3). Namun berdasarkan sejarahnya, Fox menjelaskan bahwa masing-masing nusak (wilayah kekuasaan) menyatakan memiliki dialek bahasa Rote sendiri, meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan keragaman linguistik, tetapi memang terdapat variasi dialek yang amat berdekatan di seluruh Pulau Rote (Fox, 1986: 10). Dalam pandangan variasi bahasa, Bloomfield mengemukakan bahwa setiap masyarakat terdapat dialek yang berbeda, perbedaan itu berdasarkan tata linguistik (1995: 311-312), dan adanya suatu variasi bahasa yang dituturkan oleh suatu masyarakat merupakan bahasa yang berlainan karena dipengaruhi oleh faktor sosiokultural (Kridalaksana, 1974: 12-13). Berdasarkan pertimbangan itu, maka masyarakat Rote mengakui bahwa variasi dialek bahasa Rote digolongkan sesuai dengan jumlah nusak yang terdapat di Pulau Rote yaitu berjumlah 18 dialek. Penggolongan dialek-dialek ini pada dasarnya tidak dapat dikatakan sebagai hal yang mutlak karena belum terdapat penelitian pemetaan secara khusus yang mengklasifikasi dialek-dialek bahasa Rote.
Penelitian terhadap bahasa Rote sudah banyak dilakukan sejak abad ke-19 di antaranya Fanggidaej (1892-1894), dan Heijmering (1842-1844). Pada abad ke-20, Jonker (1905) menulis kumpulan cerita bahasa Rote terjemahan bahasa Belanda, Kamus Rote-Belanda (1908), dan Tata Bahasa Rote (1975); Fox (1986) dengan judul Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Rote; Fanggidae (1996) dengan judul Morfologi Bahasa Rote; Kumanireng (2000) dengan judul Sintaksis Bahasa Rote; Balukh (2005) tentang mekanisme perubahan valensi dalam bahasa Rote, (2006) Aspek-aspek mikro bahasa Rote, (2007) Pelajaran Bahasa Rote Untuk Sekolah dasar Kelas 3, (2008) pembentukan verba nana- -k dalam bahasa Rote.
Pembahasan tentang Sintaksis Bahasa Rote berlandaskan pada sebuah masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut: bagaimana struktur sintaksis dalam Bahasa Rote yang meliputi seluk beluk frasa, klausa dan kalimat yang dikaji berdasarkan teori linguistik struktural.
Sering kali terjadi kesalahan dalam menelaah bahasa Rote khususnya dari segi tata bahasanya sehingga melalui buku ini, bertujuan untuk memberikan informasi tentang struktur bahasa Rote yang meliputi struktur frasa, klausa dan tata kalimat. Telah disadari bahwa Bahasa Rote sendiri belum mempunyai tata bahasa yang jelas untuk dapat dijadikan sebagai panduan penelaan dialek-dialek dalam Bahasa Rote. Memang sudah banyak ahli yang meneliti tentang Bahasa Rote, namun belum terdapat buku atau sejenisnya yang membahas khusus tentang kajian linguistik yang dimulai dari bidang fonologi, morfologi, sintaksis, bahkan semantik.
Penelitian yang dilakukan oleh Fanggidae dan Kumanireng tentang Morfologi dan Sintaksis merupakan awal dari kajian tata bahasa Rote, namun belum merupakan tata bahasa yang utuh dan lengkap. Semoga melalui buku Sintaksis Bahasa Rote ini dapat memberikan sedikit informasi untuk proses penetapan tata bahasa Rote yang lengkap yang dapat diterima dalam masyarakat penutur bahasa Rote.
A. Konsep Dasar Sintaksis
Ada banyak batasan sintaksis yang telah dikemukakan para linguis, Crystal (1980:346) mendefinisikan sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-kaidah yang mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk membentuk kalimat dalam suatu bahasa. Robert (1964:1) mendefinisikan sintaksis sebagai bidang tata bahasa yang menelaah hubungan kata-kata dalam kalimat, cara-cara menyusun kata-kata itu membentuk kalimat. Fromkin dan Rodman (1983:200) menyatakan bahwa sintaksis adalah bagian dari pengetahuan linguistik yang menelaah struktur kalimat. Rusmadji (1993:2) mengatakan bahwa sintaksis adalah subsistem tata bahasa yang mencakup kelas kata dan satuan-satuan yang lebih besar, yaitu frasa, klausa, kalimat, dan hubungan-hubungan di antara satuan-satuan sintaksis tersebut. Sedangkan Ramlan berpendapat bahwa sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase (Ramlan, 1995: 21).
Berdasarkan batasan-batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah telaah tentang hubungan kata-kata atau satuan-satuan sintaksis yang lebih besar dalam kalimat. Atau dengan kata lain, sintaksis adalah telaah tentang struktur kalimat.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini: ndia manu tolon mopon so tehu ta neu sangga ‘telur ayamnya sudah hilang tetapi ia tidak mencari’. Contoh di atas terdiri dari 3 frasa yaitu ndia manun tolon ‘telur ayamnya’, mopon so ‘sudah hilang’, neu sangga ‘pergi mencari’; dan terdiri dari 2 klausa yaitu ndia manu tolon mopon so ‘telur ayamnya sudah hilang’ dan ta neu sangga ‘(ia) tidak pergi mencari’. Berdasarkan contoh di atas, sebuah kalimat hanya dapat dibentuk dari frasa dan klausa, sehingga konstruksi sintaksis meliputi kajian frasa, klausa, dan kalimat.
Verhaar membagi sintaksis menjadi tiga tataran, yakni fungsi menduduki tataran teratas, kategori berada di bawah fungsi, dan peran berada pada tataran terendah. “Yang termasuk dalam fungsi adalah istilah seperti subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap. Yang termasuk dalam tataran kategori adalah istilah-istilah kata benda (Nomina), kata kerja (Verba), kata sifat (Adjektiva), kata depan (Preposisi), dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam tataran peran adalah istilah-istilah seperti pelaku, penderita, penerima, aktif, pasif, dan sebagainya” (1995:70-71).
B. Fungsi Sintaksis
Fungsi sintaksis adalah semacam kotak atau tempat dalam struktur sintaksis yang kedalamnya akan diisikan kategori-kategori tertentu. Maksud kotak itu adalah subjek (S), predikat (P), objek (O), komplemen/pelengkap (Pel), dan keterangan (K) (Chaer, 2009: 20). Atau dengan kata lain, fungsi sintaksis mengacu pada kata yang menempati posisi tertentu dalam struktur sintaksis. Dari bagian ini, secara formal fungsi S dan P selalu ada dalam setiap klausa. S menyatakan apa yang dinyatakan oleh pembicaraan dan P menyatakan apa yang dinyatakan oleh pembicaraan mengenai S (Kridalaksana, 2002). Contoh:
- Dalak ndia barisi ‘jalan itu bagus’
- Kakanak ala lalaik ‘anak-anak lari-lari’
- Meo ele aon nan seli ‘kucing itu gemuk sekali’
Yang digarisbawahi adalah S dan yang lainnya adalah P. Subjek dan Predikat dapat dibedakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
• S selalu mendahului P
Contoh:
- Au bein mana’a hiak ‘nenek saya cantik sekali’
- Ndia nonon papan namahedi ‘bapak temannya sakit’
- Lafo ndia nakaboku ‘tikus itu melompat’
Yang digarisbawahi adalah kata yang menempati fungsi subjek.
• Secara morfologis P sering ditandai dengan prefiks, proklitik pronominal
Contoh:
- Ai ndia nanabetak ‘pohon itu ditebang’
- Ndia amanene halak esa ‘ia mendengar sebuah suara’
- Kambala lakedo ao ‘kerbau-kerbau saling beradu’
Yang digarisbawahi adalah predikat yang mengalami proses pengimbuhan dan pengklitikan.
• S diisi oleh konstituen yang takrif sedangkan P diisi oleh konstituen tidak takrif
Contoh:
- Ma’u manadolu ‘Markus nelayan’
- Manadolu ndia Ma’u ‘nelayan itu Markus’
Yang digarisbawahi adalah subjek
Objek pada dasarnya berkategori nomina dan merupakan bagian dari verba yang menjadi predikat dalam klausa (Chaer, 2009:21). Kehadiran objek sangat ditentukan oleh ketranstifan verba itu. Apabila verbanya bersifat transitif, maka objek itu harus muncul tetapi apabila verba itu intransitif, maka objek tidak akan ada.
Contoh:
- Ka’ak sulak susulak ‘kakak menulis surat’
- Bei poka ba’i ‘nenek memarahi kakek’
- Kak’a nalai ‘kakak lari’
- Bei nggo ‘nenek menangis’
Pada contoh di atas, verba sulak ‘menulis’ dan poka ‘memarahi’ adalah verba transitif sehingga membutuhkan objek, sedangkan verba nalai ‘berlari’ dan nggo ‘menangis’ merupakan verba intransitif sehingga tidak membutuhkan objek.
Dalam struktur sintaksis, fungsi objek dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu objek afektif dan objek efektif. Objek afektif adalah objek yang bukan merupakan hasil perbuatan verba. Contoh: papa les koran ‘bapak membaca koran’, Anton fiti bola ‘Anton menendang bola’. Pada contoh di atas, objek afektif koran dan bola sudah ada sebelum berlangsungnya tindakan les ‘membaca’ dan fiti ‘menendang’. Sebaliknya objek efektif adalah objek yang merupakan hasil dari perbuatan verba. Misalnya pada contoh mama dode kakau ‘ibu menanak nasi’. Objek efektif kakau ‘nasi’ merupakan hasil dari kegiatan dode ‘menanak’ yang dilakukan oleh mama ‘ibu’, sehingga kakau ‘nasi’ belum ada sebelum berlangsungnya kegiatan dode ‘menanak’.
Objek seringkali dalam hubungannya dengan predikat ditanggalkan. Artinya bisa juga digunakan objek bisa juga tidak digunakan objek. Hal ini tergantung pada verba yang menduduki fungsi predikat.
Contoh:
- Au bei ketik ‘saya sedang mengetik’
- Papa bei ta na’a ‘bapak belum makan’
Pada contoh di atas, tampak bahwa sudah menjadi sebuah dapat diterima oleh masyarakat penutur bahasa, walaupun sebenarnya belum lengkap dan masih membutuhkan objek misalnya susulak ‘surat’ dan kakau ‘nasi’.
Komplemen atau pelengkap adalah bagian dari predikat verbal yang menjadikan predikat itu menjadi lengkap. Kedudukan pelengkap ini mirip dengan objek hanya kalau objek hadir berdasarkan adatidaknya faktor transitif sedangkan kehadiran pelengkap berdasarkan pada faktor keharusan untuk melengkapi predikat. Contoh;
- Saon ana dadik polisi ‘suaminya menjadi polisi’
- Ana hasa fe fadik badu beuk ‘ia membelikan adik baju baru’
- Mese nae hetuk ndia kakana neulauk ‘guru mengira dia anak baik’
Yang digarisbawah adalah pelengkap.
Perhatikan contoh lain
- Ana hasa badu beuk ‘ia membeli baju baru’
- Ana hasa fe ka’an badu beuk ‘ia membelikan kakak-nya baju baru’
- Ana hasa badu beuk fe ka’an ‘ia membeli baju baru untuk kakanya’
Pada contoh di atas, badu beuk ‘baju baru’ berfungsi sebagai objek pada contoh pertama; badu beuk berfungsi sebagai pelengkap pada contoh kedua; ka’an ‘kakaknya’ berfungsi sebagai objek pada contoh kedua, sedangkan ka’an sebagai keterangan pada contoh ketiga.
Keterangan dalam struktur klausa bersifat fleksibel yaitu dapat berada pada awal klausa maupun pada akhir klausa (Kridalaksana, 2002). Fungsi keterangan dapat berupa:
- Keterangan waktu; yang menyatakan waktu terjadinya predikat. Contoh:
Fafaik ai ta mi’a ‘tadi pagi kami tidak makan’
Ala mai bobok ‘mereka dating sore’
Fo’a benesak au fali ‘besok lusa saya pulang’
Ana tuda ndia afik bobon ‘ia jatuh kemarin sore’
Yang digarisbawahi adalah kata yang berfungsi menyatakan keterangan waktu.
- Keterangan tempat; menyatakan tempat kejadian yang digambarkan oleh subjek dan predikat.
Contoh:
Musu ana dadi nai Ba’a ‘perang terjadi di Ba’a’
Ai la’o meni Jakarta miu ‘kami berangkat ke Jakarta’
Ala fali leme Kota mai ‘mereka datang dari Kupang’
Yang digarisbawahi adalah kata yang menyatakan keterangan tempat.
- Keterangan syarat; menerangkan syarat terjadinya predikat. Contoh:
Au u makuma loke ‘saya pergi jika diminta’
Makuma uda na au ta mai ‘kalau hujan saya tidak datang’
Au bae buluk hambu bukti ‘saya membayar asal ada bukti’
Yang digarisbawahi adalah fungsi keterangan syarat.
- Keterangan tujuan; menyatakan tujuan dari predikat. Dalam Bahasa Rote, keterangan tujuan ditandai dengan preposisi fo ‘untuk, agar, supaya’ Contoh:
Ana nanoli fo lulus ‘ia belajar agar lulus’
Safe badu ndia fo nalalao ‘cuci baju itu supaya bersih’
Ai mai fo bantun ‘kami dating untuk membantunya’
- Keterangan alat; menyatakan alat yang digunakan dalam melakukan apa yang disebut dalam predikat. Contoh:
Ana sulak pake engge ‘ia menulis dengan pensil’
Ala bantun no do’a ‘mereka membantunya dengan doa’
Fadik ana safe oto pake oe hana ‘adik mencuci mobil dengan air panas’
Yang digarisbawahi adalah keterangan alat
- Keterangan perwatasan; menyatakan batas yang disebut dalam predikat. Dalam Bahasa Rote ditandai dengan kata losa, nduku, honda ‘sampai, hingga’. Contoh:
Au la’o eik losa Ba’a ‘saya berjalan kaki sampai Ba’a’
Ala tui nduku leodae ‘mereka mengobrol sampai malam’
Ana les honda basa buku ndia ‘ia membaca hingga selesai buku itu’
- Keterangan sebab; menyatakan sebab terjadinya predikat. Contoh:
Papa ta mai hu kamahedik ‘ayah tidak datang karena sakit’
Ana namala’a hu ta bei na’a ‘ia lapar karena belum makan’
- Keterangan perlawanan; menyatakan keadaan atau peristiwa yang berlawanan dengan apa yang disebut dalam predikat.
Contoh:
Mae fa o, sadi ai fe ‘biarpun sedikit, asalkan kami memberi’
Ana mai boe to, mae ai ta mafadan ‘ia datang juga, walaupun kami tidak mengundangnya’
Mae nanabalatak o, neu nakando ‘biarpun dilarang, di terus pergi’
- Keterangan kualitas; yang menyatakan bagaimana atau dalam keadaan apa predikat itu berlangsung.
Contoh:
Ana la’ok nasi’a ‘ia berjalan cepat’
Ai les koe-koe ‘kami membaca perlahan-lahan’
- Keterangan kuantitas; yang menyatakan jumlah, derajat, kekerapan, atau perbandingan akan predikat.
Contoh:
Ndia neni doik no’u nan seli ‘ia membawa uang banyak sekali’
Kakadak dua sala matan sama, leo bali mbua nanasada ba’ek ia ‘kedua anak itu sama benar, seperti pinang dibelah dua’
- Keterangan modalitas; yang menyatakan kepasitas kemungkinan, harapan, dan kesangsian.
Contoh:
Nafo namahedi ‘barangkali dia sakit’
Mae tak o, ai fali mala o ‘pasti, kami membantu anda’
Ta’ amahele o papa nana mai so ‘mustahil ayahmu sudah pulang’
C. Peran Sintaksis
Peran sintaksis adalah hubungan antara kategori predikat, baik berkategori verba maupun bukan, dengan pengisi fungsi-fungsi lain (Chaer, 2009: 30). Peran dapat diklasifikasi sesuai dengan fungsi yang menempati sebuah struktur sintaksis. Dalam hal ini predikat, subjek dan objek, dan keterangan.
Peran yang dimiliki oleh pengisi fungsi predikat adalah:
1. Tindakan
- Au les Koran ‘saya membaca koran’
- Ai mi’a aido ‘kami makan sayur’
2. Proses
- Hade-la kuni nai hadeoe ‘padi menguning di sawah’
- Bei langan ana fula ‘rambut nenek mulai memutih’
- Ba’I nimingge’a ‘kakek mulai lumpuh’
3. Kejadian
- Letek ndia ana ndefa ‘bukit itu longsor’
- ofak ndia ana bolo ‘perahu itu tenggelam’
- to’o oton ana tuni nakalutu touk esa ‘mobil paman menabrak hancur seorang lelaki’
4. Keadaan
- Enok ndia nakalulutuk ‘jalan itu rusak’
- saon ao nan seli ‘suaminya gemuk sekali’
- langgan momoik so ‘kepalanya sudah botak’
5. Pemilikan
- Uma ndia au nung ndia ‘rumah ini milik saya’
- ami deifo hapu hadia ndia ‘kami baru menerima hadiah itu’
- ndia naena doik rifun esa ‘dia mempunyai uang Rp. 1000’
6. Identitas
- Maman mesen nai ere ‘ibunya guru di sana’
- Saon manaho’u oto ‘suaminya sopir angkot’
7. Kuantitas
- Ndia hatan ba’uk ‘hartanya melimpah’
- hatahori manamaik ara lumak ‘orang yang datang sedikit sekali’
- tatao-non’in lena nan seli ‘tindakannya sangat berlebihan’
Peran yang ada pada subjek atau objek antara lain:
1. Pelaku
- Ali ho’u sisilo ‘Ali memegang senapan’
- Bulak kena ledo ‘bulan menutup matahari’
- Sakola-anak ala lakame ‘murid-murid bernyanyi’
2. Sasaran
- Adi hii Tuti ‘Adi mencintai Tuti’
- Au ahani ndia ‘saya menunggu beliau’
3. Hasil
- Tuka ana kali oe dolu ‘tukang menggali sumur’
- Mama ana dode kakau ‘ibu menanak nasi’
4. Penanggap: mengalami atau menginginkan
- Niana ndia malela nan seli ‘anak itu pandai sekali’
- Anamak ndia mopo ina-aman te bei kadi’ik ‘yatim piatu itu kehilangan orang tuanya sejak kecil’
5. Pengguna: yakni yang mendapat keuntungan dari predikat
- Ka’ak ana soi fe papa lelesu ‘kakak membukakan ayah pintu’
- Mama ana hasa fe fadik sepatuk ‘ibu membelikan adik sepatu’
- Bei ama tui fe umbun tutui hihikak ‘nenek menceritakan cucunya cerita lucu’
6. Penyerta: yakni yang mengikuti pelaku
- Ndia neu no nonon ‘ia pergi dengan temannya’
- Mama no fadik leni pasak leu ‘ibu beserta adik pergi ke pasar’
- Au ua mesen ala ai miu tilo ka’ak nai uma hedis ‘saya dengan para guru pergi mengunjungi kakak di rumah sakit’
7. Sumber: yakni yang menyertakan pemilik semula
- Te’o Omi ana fe ita bungga ‘tante Omi member kita bunga’
- Bupati ana ba’e fe ai doik juta dua ‘Bupati member kami uang dua juta’
- Fefe manadesi leo ndiak ndia neme manesio mai ndia ‘bantuan sebanyak itu diberikan dari kepala desa’
8. Jangkauan: yakni yang menyatakan ruang lingkup
- Lobalain nenenin ndia Ba’a, Loleh, ma Lelain ‘Lobalain meliputi Ba’a, Loleh, dan Lelain’
- Hata ta makababalek sila dae, uma, ma hata fe’ek ala ‘harta yang tidak bergerak termasuk tanah, rumah, dan harta yang lainnya’
- Ana les basa buku nanonolik ala mania sakolah so ‘ia sudah membaca semua buku pelajaran yang ada di sekolah’
9. Ukuran: yakni yang menyatakan banyaknya atau ukuran benda lain
- Ai osin loan meter lifun esa ‘kebun kami luasnya 1000 meter’
- Di ndia deman meter dua ‘tiang itu tingginya dua meter’
- Kakanak ndia belan kilo telu ‘anak itu beratnya 3 kilo gram’
Peran-peran yang dimiliki oleh pengisi fungsi keterangan antara lain:
1. Alat, yakni yang dipakai oleh pelaku untuk menyelesaikan perbuatan yang disebutkan dalam predikat
- Mama ana ke kokis pake dope ‘ibu memotong kue dengan pisau’
- Fadik ana sulak no engge ‘adik menulis dengan pensil’
- Au u’a pake suluk ‘saya makan menggunakan sendok’
2. Tempat, yakni yang menyatakan ke mana, dimana, atau dari mana
- Ofak ana la’ok neme Kota mai ‘kapal datang dari Kupang’
- Touk ndia nanggatuk nai batu lain ‘orang itu duduk di atas batu’
- Papa ana neni Ba’a neu ‘bapak pergi ke Ba’a’
3. Waktu, yakni menyatakan kapan terjadinya predikat
- Afik au papan ana fali so ‘kemarin ayah saya sudah pulang’
- Sosodak ala tao nai fo’a ‘ibadah dilangsungkan besok’
- Isinak au ta adiu oe ‘tadi saya tidak mandi’
4. Asal, bahan terjadinya subjek
- Ndeli ndia nanataok neme lilo mai ‘cincin itu terbuat dari emas’
- Ala tao kokis neme tua batuk mai ‘mereka membuat kue dari gula’
- Suluk nanataok neme duik mai ‘sendok itu terbuat dari tulang’
5. Kemungkinan atau keharusan, yakni menyatakan mungkin, harus, atau kepastian
- Nafo dodo te uda ‘jangan sampai sebentar hujan’
- Neuko neu te ana mai ‘pasti ia pergi dan kembali’
D. Kategori Sintaksis
Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata atau farse yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis (Chaer, 2009: 27). Kategori sintaksis biasanya bersangkutan dengan kelas nomina (N), verba (V), adjektiva (A), adverbial (Adv), numeralia (Num), preposisi (Prep), konjungsi (Konj), dan pronominal (Pron).
Perhatikan contoh di bawah ini:
(a) Bulak sio ma teuk telu mama ana ko’o ma ifa au, losa au dadik hataholi inahuk. (b) Tehu au ta hambu asaneda neu mama. (c) Mama nafaduli au fo au sangga neu au sodan ‘(a) sembilan bulan dan tiga tahun ibu memangku dan menggendong saya, sampai saya menjadi besar. (b) Tetapi saya tidak pernah mengingat ibu. (c) Ibu memelihara saya untuk mencari hidup’
- Nomina: bulak ‘bulan’, teuk ‘tahun’, hataholi ‘orang’, sodan ‘kehidupannya’
- Verba: ko’o ‘mengendong’, ifa ‘memangku’, dadik ‘menjadi’, nafaduli ‘memelihara’, asaneda ‘mengingat’, sangga ‘mencari’
- Adjektiva: inahuk ‘besar’
- Adverbia: losa ‘sampai’, ta ‘tidak’
- Numeralia ‘sio ‘sembilan’, telu ‘tiga’
- Preposisi: ma ‘dan’, neu ‘kepada, pada’
- Konjungsi: tehu ‘tetapi’, fo ‘untuk’
- Pronomina: mama ‘ibu’, au ‘saya’
Kategori-kategori ini akan mengisi semua fungsi dann peran yang terdapat dalam struktur sintaksis.
A. Konsep Frasa
Frasa pada dasarnya adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat (Samsuri, 1985:93). Keraf menyatakan bahwa frasa adalah satuan konstruksi yang terdiri dari dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (1984:138). Frasa juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Menurut Prof. M. Ramlan, frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan (2001:139).
Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu: frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih, dan frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya frasa itu hanya terdiri dari satu fungsi yakni bias berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, maupun keterangan. Simak beberapa contoh frase dalam Bahasa Rote di bawah ini:
• au manu nggeon ‘ayam hitam saya’
• manu nggeok ‘ayam hitam’
• au manun ‘ayam saya’
• uma inahuk ndia ‘rumah besar itu’
• uma fula inahuk ndia ‘rumah besar putih itu’
• uma inahuk manai lete mboik ndia ‘rumah besar di atas puncak gunung itu’
Dalam konstruksi frasa-frasa di atas, hanya menempati satu fungsi yaitu fungsi subjek. Lihat perbedaannya dibandingkan dengan beberapa klausa dalam Bahasa Rote di bawah ini:
• au manun nggeok ‘ayam saya hitam’
• uma ndia inahuk ‘rumah itu besar’
• uma inahuk ndia fulak ‘rumah besar itu putih’
• uma fulak ndia inahuk ‘rumah putih itu besar’
• uma inahuk ndia nai letek mboin ‘rumah besar itu di atas puncak gunung’
Dalam konstruksi-konstruksi klausa di atas, terdiri dari dua fungsi sintaksis. Au manun ‘ayam saya’, uma ndia ‘rumah itu’, uma inahuk ndia ‘rumah besar itu’, dan uma fulak ndia ‘rumah putih itu’ merupakan fungsi subjek, sedangkan nggeok ‘hitam’, inahuk ‘besar’, fulak ‘putih’, dan nai letek mboin ‘di atas puncak gunung’ merupakan fungsi predikat.
B. Jenis Frasa
Berdasarkan persamaan distribusi dengan unsurnya pemadunya, frasa dibagi menjadi dua, yaitu Frasa Endosentris dan Frasa Eksosentris.
a. Frasa Endosentris
Frasa endosentris adalah frasa yang keseluruhannya mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan salah satu konstituennya (Kridalaksana, 2008:66). Atau dengan kata lain frasa endosentris adalah frasa yang memiliki unsur pusat. Kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu, dapat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Misalnya frasa ume beuk ‘rumah baru’. Dalam contoh di atas, kata ume ‘rumah’ mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan ume beuk ‘rumah baru’, dan yang menjadi unsur pusat adalah ume ‘rumah’.
Contoh lain:
• Hatahori kamuluk ‘orang gila’
• Ume hedis ‘Rumah sakit’
• Koki Hundi ‘kue pisang’
• Mata barisi ‘wajah ganteng’
• Hadeoe madak ‘sawah kering’
Frasa endosentris dibagi menjadi tiga jenis yaitu: frasa endosentris yang koordinatif, frasa endosentris yang atribut dan frasa endosentris yang apositif.
Frasa endosentris yang koordinatif; terdiri dari unsur-unsur yang setara. Kesetaraannya dapat dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata penghubung no ‘dengan’, ma ‘dan’ atau do ‘atau’ dalam Bahasa Rote.
Contoh:
• (faik) dua telu ‘dua tiga (hari)’ → dua ma telu ‘dua dan tiga’
• papa mama ‘ayah ibu’ → papa no mama ‘ayah dengan ibu’
• tutu fepa ‘pukul tampar’ → tutu do fepa ‘pukul atau tampar’
Frasa endosentris yang atribut; terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara dan tidak dapat dihubungkan dengan kata dan atau atau dalam Bahasa Indonesia (Ramlan, 1995:156). Ada beberapa jenis frasa ini adalah sebagai berikut:
Frasa konsruktif endosentrik atribut jenis nomina; frasa ini akan dibentuk oleh nomina dan bentuk lainnya yang menghasilkan frasa nomina. Unsur-unsur pembentuknya adalah sebagai berikut:
a. Nomina + Nomina
Contoh:
• koki hundi ‘kue pisang’
• hataholi letek ‘orang gunung’
• osi mbelak ‘kebun jagung’
Dari contoh di atas, frasa nomina dibentuk oleh nomina lain. Yang menjadi unsur pusat adalah koki ‘kue’, hataholi ‘orang’, dan osi ‘kebun’, sedangkan unsur pembentuknya adalah hundi ‘pisang’, letek ‘gunung’, dan mbelak ‘jagung’.
b. Nomina + Verba aktif
Contoh:
• hatahori manana’a I’ak ‘orng pemakan ikan’
• mbui manana’a had’e ‘burung pemakan padi’
• fafi manatora osi ‘babi pemasuk kebun’
Yang menjadi unsur pusat dari contoh di atas adalah hatahori ‘orang’, mbui ‘burung’, dan fafi ‘babi’, sedangkan unsur pembentuknya adalah na’a ‘makan’ dan tora ‘masuk’. Untuk unsur pembentuk dengan verba aktif dalam Bahasa Rote biasanya diberi prefiks mana- untuk menunjukkan pelaku verba. Bentuk mana- dalam bahasa Rote artinya tukang, ahli, dan orang yang ber-tindak ‘verba’. Perhatikan contoh lain untuk verba yang menggunakan prefiks mana- adalah sebagai berikut:
• mana-tutu ‘tukang pukul’
• mana-tutu fela ‘pembuat parang’
• mana-dede’a ‘ahli debat’
c. Nomina + Verba pasif
Contoh:
• busa nanafembak ‘anjing yang dipukul’
• koki nanasesenak ‘kue yang digoreng’
• manu nanatunuk ‘ayam yang dibakar’
Berdasarkan contoh di atas, nomina sebagai unsur pusat sedangakan verba sebagai unsur pembentuknya. Unsur pembentuk verba dipasifkan dengan diberi prediks nana- ‘di’ untuk menyatakan nomina yang di(verba)-kan.
d. Nomina + Adjektiva
Contoh:
• hataholi kamahedik ‘orang sakit’
• kode nggade’e ‘kera raksasa’
• inana barisi ‘gadis cantik’
Contoh di atas menujukkan bahwa adjektiva sebagai unsur pembentuk frasa nomina. Adjektiva berfungsi sebagai atribut nomina untuk menyatakan nomina yang dalam keadaan tertentu.
e. Nomina + Numeralia
Contoh:
• meo ne ‘enam ekor kucing’
• mengge kalimak ala ‘kelima ular’
• hataholi kadua ‘orang kedua’
e. Nomina + Pronominal
Contoh:
• uma-n ala ‘rumah mereka’
• papa-nggata ‘bapak kita’
• lelesuna ‘pintunya’
f. Numeralia + Pronomina
Contoh:
• duasala ‘mereka berdua’
• telunggata ‘kita bertiga’
• hanggei ‘kalian berempat’
Frasa konsruktif endosentrik atribut jenis verba
g. Verba + Verba
Contoh:
• la’o neu sangga ‘pergi mencari’
• miu matutu ‘pergi berkelahi’
• neu dolu ‘pergi memancing’
h. Verba + Adjektiva
Contoh:
• la’ok masi’a ‘jalan cepat’
• tutu matingga ‘pukul sekuatnya’
• sanga nggenggeok ‘mencari kotor’
i. Verba + Penjelas
Contoh:
• minu seluk ‘minum lagi’
• mai leo ‘mari sudah’
• mu’a makahuluk ‘makan dahulu’
j. Penjelas + Verba
Contoh:
• deifo fali ‘baru pulang’
• ei na’a ‘masih makan’
• bisa sulak ‘bisa menulis’
k. Verba + Numeralia
Contoh:
• sangga la’I telu ‘mencari tiga kali’
• na’a lai esa ‘makan sekali’
• na’a nouk ‘makan banyak’
Frasa endosentris yang apositif; frasa ini berinduk banyak dan yang bagian-bagiannya tidak dihubungkan dengan penghubung (sering kali ditandai dengan jeda) dan yang masing-masing menunjuk pada referen yang sama dalam alam di luar bahasa (Kridalaksana, 2008:66). Misalnya:
• Semuel, au papan ana tuda ‘Semuel, bapak saya jatuh’
• au nonon, Anton ‘teman saya, Anton’
• Lote, au nusa fua funin ‘Rote, tanah lahirku’
• Dauk, au papan ‘Daud, bapak saya’.
• Ai bupatin, papa Lens Haning ‘bupati kami, bapak Lens Haning’
b. Frasa Eksosentrik
Frasa eksosentris adalah frasa yang keseluruhannya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan salah satu konstituennya. Frasa ini mempunyai dua bagian yaitu: perangai yang berupa preposisi dan sumbu yang berupa kelompok kata atau kata (Kridalaksana, 2008:66). Contoh:
• Nai ume ‘di rumah’
• Ndia ele/ nai na ‘di sana’
• Ndia afik ‘sejak kemarin’
• Uni Kota ‘dari Kupang’
• Fo sunggu nakando ‘yang tidur terus’
Frasa menurut kategori kata yang menjadi unsur pusatnya dibagi menjadi frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa numeralia, frasa pronominal, dan frasa preposisi.
a. Frasa nomina
Frasa Nomina adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nomina (Ramlan, 1995:158). Atau dengan kata lain, frasa yang unsur induknya terdiri dari nomina (Kridalaksana, 2008:66). Pada dasarnya frasa nomina merupakan satuan bahasa yang terdiri atas dua kata/konstituen atau lebih dengan nomina sebagai konstituen inti dan konstituen lain sebagai modifikator atau kata pendamping. Contoh:
• Hataholi dua ‘dua orang’ → N + Num.
• Uma beuk ‘rumah baru’ → N + Adj
• Ndeli mas ‘cincin emas’ → N + N
• Hataholi isinak ndia ‘orang tadi’ → N + Adv
• Hataholi nanatutuk ‘orang yang dipukul’ → N + V
• Mananggok ‘yang menangis’ → mana + V
b. Frasa Verba
Frasa verba merupakan gabungan dari beberapa konstituen yang salah satu konstituennya berupa verba. Dalam pengertian ini, frasa verba terdiri atas verba sebagai konstituen inti dan kata lain sebagai modifikator. Konstituen yang menjadi modifikator dapat berada di depan konstituen inti. frasa yang unsur penentunya berupa kata yang termasuk kategori verba. Struktur frasa verba dalam bahasa Rote dibentuk oleh konstituen verba sebagai konstituen inti dan konstituen lain sebagai modifikatornya. Contoh:
• Ta sunggu ‘tidak tidur’
• Bei na’ilu ‘sedang (ia) hamil’
• Tuda seluk ‘jatuh lagi’
• Luli nakando ‘marah terus’
• Manggate sulak ‘rajin menulis’
• Mbelatua tao ‘malas bekerja’
• Ninggitu fak ‘duduk sebentar’.
c. Frasa Adjektiva
Frasa adjektiva adalah frasa yang unsur penentunya berupa kata yang termasuk kategori adjektiva. Unsur penentunya dalam Bahasa Rote dapat diberi ndos, hiak (sekali), nanseli ‘sangat’.
Contoh:
• ba’u nanseli ‘sangat besar’
• Kamulu ndos ‘jelek sekali’
• Neulau hiak ‘bagus sekali’
d. Frasa Numeralia
Frasa numeralia merupakan gabungan dari beberapa konstituen yang salah satu atau beberapa konstituennya berupa numeralia yang menjadi konstituen inti dan konstituen lain yang menjadi modifikator. Modifikator dalam frasa ini dapat berada di depan konstituen inti, atau dengan kata lain frasa yang unsur penentunya berupa kata yang termasuk kategori numeralia yaitu kata-kata yang secara semantis mengatakan bilangan atau jumlah tertentu. Contoh:
• Sanahulu so ‘sudah sepuluh’
• hataholi duahulu ‘duapuluh orang’
• duahulu esa ‘dua puluh satu’
• ne lenak ‘enam lebih
• meter lima ‘lima meter’.
Struktur frasa numeralia dalam bahasa Rote dibentuk oleh konstituen inti yang berupa numeralia dan konstituen lain yang menjadi modifikatornya. Konstituen-konstituen pengisi struktur frasa numeralia dalam bahasa Rote berupa
Num + Num : esa dua ‘satu dua’
Num +Adv : be ta natun dua ‘belum dua ratus’
N + Num : boak telu ‘tiga buah’
e. Frasa Pronomina
Frasa pronomina merupakan gabungan dari konstituen yang berupa pronomina yang menjadi konstituen inti dan konstituen lain yang menjadi modifikator atau gabungan dari dua konstituen yang berupa pronominal. Contoh:
• Ndia do au ‘dia atau saya’
• Sudi hida ‘berapa saja’
Struktur frasa pronomina dalam bahasa Rote dibentuk oleh konstituen pronomina sebagai konstituen inti dan konstituen lain sebagai modifikatornya. Konstituen pengisi struktur frasa pronominal dalam bahasa Rote berupa:
Pron Persona + Pron Persona: au ma sila ‘saya dan mereka’
Pron Penunjuk + Pron Penunjuk: ia ma ele ‘ini dan itu’
Pron Tanya + Pron Tanya: nai be ma ndia be ‘di mana dan yang mana’
Adv + Pron Persona: ei ta ‘bukan kamu’
Pron Persona + Pron Penunjuk: ita ia ‘kita ini’
Pron Persona + Num: ei basanggei ‘kalian semua’
f. Frasa Preposisional
Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, Alwi (2003:288) membagi kata tugas menjadi lima kelompok yakni preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula, dan partikel penegas. Preposisi dapat menduduki fungsi keterangan kalimat apabila digunakan sebagai komponen frasa preposisional (Tadjuddin, 2001: 2). Pada dasarnya frasa proposisional adalah gabungan dari beberapa konstituen yang salah satu konstituennya berupa preposisi yang menjadi perangkai dan konstituen lain yang menyertai preposisi yang menjadi sumbu. Ramlan menyebut frasa jenis ini dengan sebutan frasa depan yakni frasa yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksinya (Ramlan, 1995: 178). Contoh:
• neme afik mai ‘dari kemarin’
• nai ai lain ‘di atas lemari’
• ndia fafaik ‘sejak pagi tadi’
• no papan ‘(ia) dengan ayahnya’
• nai mei ‘di meja’.
Konstituen nai..lain ‘di atas’, ndia ‘sejak’, no ‘(ia) dengan’, dan nai ‘di’ menjadi perangkai, sedangkan konstituen ai ‘lemari’, fafaik ‘pagi tadi’, papan ‘ayahnya’, dan mei ‘meja’ menjadi sumbu.
Struktur frasa preposisional dalam bahasa Rote dibentuk oleh konstituen perangkai yang berupa preposisi dan konstituen lain yang menjadi sumbu. Konstituen-konstituen pengisi struktur frasa preposisional dalam bahasa Rote berupa:
• Pre + N: nai uma ‘di rumah’ dan nai le bifin ‘di pinggir sungai’;
• Pre + Adj: seperti no neulauk, no malole ‘dengan baik’;
• Pre + Pron penunjuk: nai dae ia ‘di bawah ini’ dan nai dea ele ‘di belakang itu’;
• Pre + Pron Persona: ua ei ‘dengan kami’ dan neu papa sala ‘kepada bapak-bapak’.
C. Frase dan Kata Majemuk
Frase kerap disamakan dengan kata majemuk namun sebenarnya mempunyai perbedaan makna. Makna pada frasa tidak berbeda dengan makna kata yang menjadi kepala/inti frasa. Misalnya: mei nggeok ‘meja hitam’ tetaplah bermakna meja, hanya ditambahkan pewatas sifat hitam menjadi meja yang berwarna hitam. Contoh lain adalah lima manalu ‘tangan panjang’ juga tetap berarti ‘tangan’, hanya ditambahkan kata sifat ‘panjang’ untuk menyatakan tangan yang ukurannya panjang.
Di sisi lain, kata majemuk memiliki makna yang sangat jauh berbeda dengan makna kata-kata yang menjadi unsur-unsurnya, sehingga kata majemuk kerap disebut memiliki makna idiomatis. Misalnya: langga batu dalam bahasa Rote lebih bermakna 'pemalas', dan bukan semata-mata bermakna ‘kepala yang berbuat dari batu’. Contoh lain pada kata lima naluk lebih bermakna orang yang suka mencuri dan bukan semata-mata bermakna ‘orang yang tangannya berukuran panjang’.
A. Pengertian Klausa
Klausa ialah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek (S) dan predikat (P), dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana dkk, 1980:208). Unsur inti dari sebuah klausa adalah Subjek dan Predikat. Namun demikian, Subjek juga sering juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62).
Klausa sebagai unsur kalimat, sehingga sebagian besar kalimat terdiri dari dua unsur yaitu unsur intonasi dan unsur klausa (Badudu dan Herman, 2005: 55). Jika disebut klausa apabila merupakan unsur segmental kalimat yang mengandung fungsi subjek dan predikat atau predikat saja, tetapi tidak memiliki unsur prosodi yang berupa intonasi, khususnya intonasi final. Sedangkan klausa itu memiliki intonasi, maka satuan gramatikal tersebut bukan lagi klausa, melainkan sudah merupakan kalimat. Dengan demikian, klausa dapat diartikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat atau predikat saja tanpa adalnya intonasi akhir.
Contoh:
- Ndia nafada ‘ia mengatakan’
- Mama ana mai ‘ibu datang’
- Kakanak ndia mesen ana famban ‘guru menampar anak itu’
- Au amana’o ‘saya mencuri’
Berdasarkan contoh klausa di atas, struktur klausa belum mempunyai intonasi akhir yang melengkapi dan harus membutuhkan unsur lain sebagai pelengkap atau penjelas maksud yang akan menghasilkan sebuah kalimat. Misalnya ndia nafada ‘ia mengatakan’ belum lengkap jika dikatakan sebagai sebuah kalimat, dan harus membutuhkan struktur lain misalnya nae papan maten so ‘bahwa ayahnya meninggal’. Kedua unsur ini digabungkan untuk menghasilkan kalimat ndia nafada nae papan maten so ‘ia mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal’.
B. Jenis Klausa
Klausa dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria berikut: (a) potensi untuk menjadi kalimat, (b) tatarannya dalam kalimat, dan (c) jenis kata yang menempati fungsi predikat dalam kalimat.
1. Klasifikasi klausa berdasarkan potensi untuk menjadi kalimat
Klasifikasi klausa berdasarkan potensi untuk menjadi sebuah kalimat terdiri dari dua jenis yaitu klausa bebas dan klausa terikat.
a. Klausa Bebas;
Klausa bebas ialah klausa yang berpotensi untuk membentuk kalimat mayor. Jadi klausa bebas memiliki unsur yang berfungsi sebagai subjek dan yang berfungsi sebagai predikat. Klausa bebas adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian dari kalimat yang lebih besar. Dengan kata lain, klausa bebas dapat dilepaskan dari rangkaian yang lebih besar itu, sehingga kembali kepada wujudnya semula, yaitu kalimat. Contoh :
Aon matobik ‘badannya panas’
Uman inahuk ‘rumahnya besar.
Ndia ana sala ‘dia yang bersalah’
Manggate nan seli ‘(ia) sangat rajin’
Klausa bebas mempunyai unsur kalimat yang lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan predikat. contoh: papa bei la’o ‘bapak sedang pergi’, mama na’a so ‘ibu telah makan’. Hanya dengan memberi intonasi final pada klausa bebas, maka klausa tersebut berubah menjadi kalimat mayor. Ini berarti, klausa bebas berpotensi menjadi kalimat mayor.
Klausa Bebas + Intonasi Final → Kalimat Mayor.
Contoh:
Klausa bebas: papa bei la’o ‘bapak sedang pergi’ Intonasi final: Intonasi tanya (?) maka kalimat mayor: papa bei la’o? ‘bapak sedang pergi?’.
b. Klausa Terikat
Klausa terikat ialah klausa yang tidak memiliki potensi untuk menjadi kalimat mayor, hanya berpotensi untuk menjadi kalimat minor.yaitu klausa yang tidak semua unsur intinya hadir. Biasanya dalam klausa ini yang hadir hanya S saja atau P saja. Sedangkan unsur inti yang lain dihilangkan. Contoh:
Buluk ndia ‘kecuali dia’
Na’a ‘makan’
Nanahukuk ndia ‘yang dihukum itu’
Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap. Dengan kata lain, klausa jenis ini tidak memiliki subyek sekaligus predikat. Karena itu, klausa jenis ini selalu terikat dengan klausa yang lain dan tidak pernah bisa menjadi kalimat mayor. Klausa terikat biasanya berdiri sebagai jawaban atas suatu pertanyaan atau berdiri di dalam anak kalimat. Contoh: Fo’a bobok ‘besok sore’ (Jawaban untuk kalimat "Kapan kamu berangkat?").
2. Klasifikasi klausa berdasarkan tataran dalam kalimat
Klasifikasi klausa berdasarkan tataran dalam kalimat dibedakan atas klausa atasan dan klausa bawahan.
a. Klausa Atasan
Klausa atasan adalah klausa yang tidak menduduki fungsi sintaksis atau tidak menjadi unsur dari klausa yang lain. Contoh :
To’o ana mai te ai bei manoli ‘ketika paman datang, kami sedang belajar’
Mae fak o ai bubuluk ndia ‘Meskipun sedikit, kami tahu tentang hal itu’
Ali neni sakolah neu ndia afik ‘Ali pergi ke sekolah kemarin’
b. Klausa Bawahan
Klausa bawahan adalah klausa yang menduduki fungsi sintaksis atau menjadi unsur dari klausa yang lain. Contoh :
Nae hetuk leledon ia uda ‘dia mengira bahwa hari ini hujan’
Mae u eta o okak boe dadi ‘jika tidak ada rotan, akarpun jadi’
Hahapun bei ta ba’uk ‘hasilnya belum banyak’
3. Klasifikasi klausa berdasarkan jenis kata yang menduduki fungsii predikat
Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi predikat, klausa dapat diklasifikasikan menjadi klausa nomina, verba, ajektiva, numeral, dan preposisi.
a. Klausa Nominal
Klausa nominal ialah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa yang termasuk kategori nomina. Contoh:
Ndia hatahori kamuruk ‘dia orang gila’
Sira manatao hadeoe ‘mereka pekerja sawah’
Au bein manalongek ‘nenek saya penari’
b. Klausa Verbal
Klausa verbal ialah klausa yang redikatnya terdiri dari kata atau frasa yang termasuk kategori verba. Contoh :
Ana nggade ndelin ‘dia menggadai cicinnya’
Ta’ek ndia ana fali nala au bein ‘pemuda itu menolong nenek saya’
Kakanak ndia nafandele papan ‘anak itu mengingat ayahnya’
c. Klausa Ajektival
Klausa ajektival ialah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa yang termasuk kategori ajektiva. Contoh :
Fadin ma’ao ‘Adiknya gemuk’
Uma ndia lasik so ‘rumah itu sudah tua’
Mba’a ndia dema nan seli ‘Pagar itu sangat tinggi’
d. Klausa Numeralia
Klausa numeral ialah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa yang termasuk kategori numeralia. Contoh :
Anan lima ‘anaknya lima’
Sila (hataholi) sio ‘mereka sembilan orang’
Nonon dua hulu telu ‘temannya dua puluh tiga orang’
e. Klausa Preposisional
Klausa preposisional ialah klausa yang predikatnya berupa kata atau frasa yang termasuk kategori preposisional. Contoh :
Supatuk ndia nai mei buin ‘sepatu itu di bawah meja’
Au badun nai ai dale ‘baju saya di dalam lemari’
Ina-aman ala lai Jakarta ‘orang tuanya di Jakarta’
A. Batasan Kalimat
Dalam menjelaskan pengertian kalimat secara jelas, maka terdapat beberapa definisi para linguis, antara lain: menurut Bloomfield (1933:170), kalimat adalah suatu bentuk linguistis, yang tidak termasuk ke dalam suatu bentuk yang lebih besar, karena merupakan suatu konstruksi gramatikal. Hockett (1958:199) menyatakan bahwa kalimat adalah suatu konstitut atau bentuk yang bukan konstituen; suatu bentuk gramatikal yang tidak termasuk ke dalam konstruksi gramatikal lain. Lado (1968:27) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan terkecil dari ekspresi lengkap. Keraf (1978:156) menyatakan bahwa kalimat adalah satu bagian ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan, sedangkan intonasinya menunjukkan bahwa ujaran itu sudah lengkap. Fokker (1980:11) mengemukakan bahwa kalimat adalah ucapan bahasa yang mempunyai arti penuh dan batas keseluruhannya ditentukan oleh turunnya suara. Ramlan (1981:6) mengemukakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir naik dan turun. Menurut Kridalaksana (1984:224), kalimat adalah suatu bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan baik secara actual maupun potensial terdiri dari klausa. Sedangkan Verhaar menyatakan bahwa kalimat adalah hubungan antar kata dan antar frasa dalam satuan dasar (1978:70).
Menurut Bloomfield (1961:170), kalimat pada dasarnya mempunyai bentuk tutur yang mandiri, yang tidak menjadi bagian bentuk tutur lainnya yang lebih besar. Batas akhir kalimat itu adalah intonasi atas penggunaan fonem sekunder. Kalimat sebagai ujaran yang unsur-unsurnya terikat pada sebuah predikat tunggal atau pada sejumlah predikat yang dikoordinasikan, dan tanpa perlu menyertakan intonasi di dalam rumusan itu (Martinet, 1987: 135-136).
Kalimat dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkap-kan pikiran yang utuh. Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis harus memiliki Subjek dan Predikat (Srifin dan Tasai, 2002: 58). Kalimat pendek menjadi panjang atau berkembang karena diberi tambahan-tambahan atau keterangan-keterangan pada subjek, pada predikat, atau pada keduanya (Wijayamartaya, 1991: 9).
Menurut Ramlan (2001: 21), yang menentukan satuan kalimat bukan banyaknya kata yang menjadi unsurnya, melain-kan intonasinya. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. “Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh” (Alwi, 2003:311).
Perhatikan contoh berikut:
(1) Sila nggolon hambu musu ‘kampung mereka terdapat perang’
(2) Ndia papa nana niao ‘bapaknya gemuk’
(3) Au oke nana’ak ‘saya meminta makanan’
(4) O na’de se? ‘siapa nama anda?’
(5) Muni dalek mai! ‘Silahkan masuk!’
B. Kalimat Minor dan Mayor
Kalimat minor disebut juga minor sentence, nonfavourite sentence, sentence fragment, verbless sentence (Kridalaksana, 2008:107). Kalimat minor adalah kalimat yang hanya mengandung satu unsur inti atau unsur pusat. Kalimat minor disebut juga kalimat tak sempurna yang merupakan kalimat yang lajur dasarnya diisi dengan klausa tidak lengkap tetapi mengandung pola intonasi akhir (Cook, 1971: 54). Atau dengan kata lain kalimat minor adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa terikat atau sama sekali tidak mengandung struktur klausa. Contoh:
Nene! Diam!
Ado! Aduh!
Be mu? Ke mana?
Siap so bek? ‘sudah siap?’
Mu leo! ‘pergilah!’
Berdasarkan beberapa contoh di atas, sebuah kalimat tidak hanya merupakan gabungan kata-kata atau frasa bahkan klausa, namun kalimat juga dapat berupa kata yang mempunyai penanda akhir yang disebut dengan kalimat minor.
Kalimat mayor; disebut juga kalimat sempurna adalah kalimat yang lajur dasarnya terdiri dari sekurang-kurangnya satu klausa bebas yang lengkap (Cook, 1971: 49). Atau kalimat mayor memiliki sekurang-kurangnya dua unsur inti.
Contoh:
Au ama-nene radio. Saya mendengar radio.
Ndia n-inu kofi nai kama dale. Dia minum kopi di dalam dapur.
Ba’i n-eni osi neu. Kakek pergi ke kebun.
C. Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Klasifikasi kalimat menurut jumlah dan jenis klausa pada dasar, terdiri dari kalimat tunggal dan kalimat majemuk.
a. Kalimat Tunggal
Kalimat Tunggal adalah hanya terdiri dari satu klausa bebas (Kridalaksana, 2008:106). Cook mendefinisikan kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti pembentukan kalimat (subjek dan predikat) dan boleh diperluas dengan salah satu atau lebih unsur-unsur tambahan (objek dan keterangan), asalkan unsur-unsur tambahan itu tidak membentuk pola kalimat baru (1971:38).
Pada hakikatnya, kalau dilihat dari unsur-unsurnya, kalimat-kalimat yang panjang-panjang dalam bahasa Indonesia dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat dasar yang sederhana. Kalimat-kalimat tunggal yang sederhana itu terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Sehubungan dengan itu, kalimat-kalimat yang panjang itu dapat pula ditelusuri pola-pola pembentukannya. Pola-pola itulah yang dimaksud dengan pola kalimat dasar. Perhatikan contoh kalimat tunggal berikut:
Kalimat Tunggal Pola
- Fadik na’a ‘adik makan’
- Fadik n-inu susu ‘adik minum susu’
- Mama mbeda doik nai ai dale ‘ibu menyimpan uang di dalam lemari’ S-P
S-P-O
S-P-O-K
Contoh lain:
- Au u’a. saya makan (S-P).
- Ndia n-inu. Ia minum (S-P).
- Ka’ak ana sunggu. Kakak tidur (S-P).
- Dalen hedis. Hatinya sakit (S-P).
b. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau lebih, atau dengan kata lain kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas (Kridalaksana, 2008:105). Kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk dapat terjadi dari:
- Sebuah kalimat tunggal yang bagian-bagiannya diperluas sedemikian rupa sehingga perluasan itu membentuk satu atau lebih pola kalimat baru, di samping pola yang sudah ada. Misalnya: kakanak ndia ana helo bini ‘anak itu menyanyikan syair’ → kalimat tunggal. subjek pada kalimat di atas diperluas menjadi Kakana manasasapu nai perpustakaan ndia ana helo bini ‘Anak yang menyapu di perpustakaan itu menyanyikan syair’.
- Penggabungan dari dua atau lebih kalimat tunggal sehingga kalimat yang baru mengandung dua atau lebih pola kalimat. Misalnya: Susi ana sulak susulak ‘Susi menulis surat’ (kalimat tunggal). Papa ana les Koran ‘Bapak membaca surat’ (kalimat tunggal II). Kedua kalimat ini digabung menjadi kalimat majemuk yaitu Susi ana sulak susulak ma papa ana les Koran ‘Susi menulis surat dan Bapak membaca koran’.
Berdasarkan sifat hubungannya, kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
1. Kalimat majemuk setara; adalah kalimat majemuk yang hubungan antara pola-pola kalimatnya sederajat. Atau dengan kata lain satu kalimat majemuk disebut sebagai kalimat majemuk setara apabila kedudukan klausa yang membentuknya sama. Contoh: Ai mia sila manggatuk neme na leodaen ndia ‘Kami dengan mereka duduk di sana malam itu’.
Kalimat majemuk setara terdiri atas:
• Kalimat majemuk setara menggabungkan. Biasanya menggunakan kata-kata tugas sebagai tanda penghubung. Dalam bahasa Rote dikenal kata-kata tugas adalah ma ‘dan, dengan’, boema ‘kemudian, lalu’, boe ‘juga’. Misalnya: Nani kakana neulauk boema malelak bali ‘Yohanis anak yang baik lagi pula sangat pandai’.
• Kalimat majemuk setara memilih. Biasanya memakai kata tugas: atau; baik … maupun. Dalam bahasa Rote ditandai dengan kata do ‘atau’. Misalnya: Papa ninu teh do papa na’a kakau ‘bapak mimun teh atau bapak makan nasi’.
• Kalimat majemuk setara perlawanan. Biasanya memakai kata tugas: te ‘tetapi’, tehu ‘namun, melainkan’. Misalnya: ndia manggate ndos, tehu fadin mbela-tua nan seli ‘Dia sangat rajin, tetapi adiknya sangat pemalas’.
2. Kalimat majemuk bertingkat; Kalimat majemuk yang terdiri dari perluasan kalimat tunggal, bagian kalimat yang diperluas sehingga membentuk kalimat baru yang disebut anak kalimat. Sedangkan kalimat asal (bagian tetap) disebut induk kalimat. Satu kalimat disebut sebagai kalimat majemuk bertingkat apabila kalimat itu terjadi dari dua klausa atau lebih dengan kedudukan yang tidak setara. Salah satu klausa yang membentuknya mejadi keterangan bagi bagian klausa yang lain. Contoh: o papa manambela-tua manatao osi, boso mafalende heni ‘Ayahmu yang malas mengerjakan kebun, jangan dilupakan’. Kalimat itu terjadi dari dua klausa dengan kedudukan masing-masing sebagai berikut. Klausa utama: boso mafalende heni o papan ‘Ayahmu jangan dilupakan’. Klausa subordinat: o papan mbela-tua manatao osi ‘Ayahmu malas mengerjakan kebun’.
3. Kalimat majemuk campuran; adalah kalimat majemuk hasil perluasan atau hasil gabungan beberapa kalimat tunggal yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga pola kalimat. Kalimat jenis ini terdiri atas kalimat majemuk taksetara (bertingkat) dan kalimat majemuk setara, atau terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk taksetara (bertingkat). Perhatikan contoh berikut:
Neu nangatuk de ninu, boema ta’e manapake balo’a neulauk esa mai, ma no oto mangadilak esa ‘ketika ia duduk minum, kemudian datang seorang pemuda berpakaian bagus, dan menggunakan sebuah mobil mewah’. Pola kalimat pertama: Neu nangatuk de ninu ‘ketika ia duduk minum’; Pola kalimat kedua: ta’e manapake balo’a neulauk esa mai ‘datang seorang pemuda berpakaian bagus’; Pola kalimat ketiga: (ana mai) no oto mangadilake esa ‘ia datang menggunakan sebuah mobil mewah’.
D. Kalimat Verbal, Kalimat Nominal, Kalimat Ajektival, Kalimat Numeral, dan Kalimat Preposisional
Klasifikasi kalimat menurut predikatnya, kalimat dibeda-kan lagi mejadi kalimat verbal, kalimat nominal, kalimat ajektival, kalimat numeral, dan kalimat preposisional.
a. Kalimat Verbal;
Kalimat verbal masih dibedakan lagi atas kalimat aktif dan kalimat pasif.
Kalimat aktif adalah kalimat yang berpredikat verba dan subjeknya pelaku. Contoh:
Au u’a pa ‘saya makan daging’
Ndia neni ia mai ‘dia datang ke sini’.
Kalimat aktif dibedakan lagi atas kalimat transitif, kalimat bitransitif, dan intransitif.
o Kalimat transitif; kalimat ini berpredikat verba yang memerlukan objek.
Contoh:
Kode ana hotu mbelak nai ha’I lain ‘kera membakar jagung di atas api’
papan tutu au anan ‘bapakmu memukul anak saya’
Ai minu kofi ‘kami minum kopi.’
Dalam contoh di atas verba hotu ‘membakar’, tutu ‘memukul’, dan inu 'minum' adalah verba transitif yang memerlukan objek.
o Kalimat bitransitif adalah kalimat verba transitif yang disertai objek dan pelengkap.
Contoh:
Ala fe au mbelak mbulek telu ‘mereka memberi saya jagung tiga bulir’
Ana ha’i fe ndia oe nininuk ‘dia mengambilkan dia air minum’
Mama ana asa fe ai badu beuk ‘ibu membelikan kami baju baru’
Dalam contoh tersebut, fe ‘memberi’, ha’i fe ‘menga-mbilkan’, dan asa ‘membeli’ adalah verba bitransitif dengan objek au ‘saya’, ndia ‘dia’, dan ai ‘kami’, serta pelengkap mbelak ‘jagung’, oe nininuk ‘air minum’, dan badu beuk ‘baju baru’.
o Kalimat intransitif adalah kalimat verbal yang tidak memiliki objek. Kalimat ini dapat diikuti verba atau frasa verbal lain dan preposisi.
Contoh:
Ai mini pasak miu ‘kami pergi ke pasar’
Au ka’an ana mai ‘kaka saya datang’
Ai ba’i maten so ‘kakek kami sudah meninggal’
Dalam contoh tersebut, verba transitif mini ‘(kami) pergi, mai ‘datang’, dan maten so ‘sudah meninggal’ langsung diikuti oleh keterangan dan tidak membutuh-kan objek.
Kalimat Pasif adalah kalimat berpredikat verba dengan subjeknya sebagai penderita. Kalimat ini ditandai dengan adanya prefiks nana- ‘di-’ dalam bahasa Rote dan diikuti dengan preposisi mene ‘oleh’ sebelum objek pelaku.
Contoh:
Kea nanatutuk neme kode mai ‘penyu dipukul oleh kera’
Mba ndia nanana’ak neme busa isinak ndia ‘daging itu dimakan anjing tadi’
b. Kalimat Nominal
Kalimat yang predikatnya berkategori nomina (kata benda).Contoh:
• Au ba’in manatao osi ‘kakek saya tukang kebun’
• To’o anan manamafuk ‘anak paman seorang pemabuk’
Dalam contoh tersebut, manatao osi ‘tukang kebun’dan manamafuk ‘pemabuk’ adalah nomina yang berfungsi sebagai predikat.
c. Kalimat Numeralia
Contoh:
istri lelaki itu tiga orang
kerbau saya satu ekor.d.
Dalam contoh, tiga orang, satu ekor, dan Mima ekor adalah frasa numeral sebagai predikat kalimat.
d. Kalimat Adjektival
Kalimat adjektival adalah kalimat yang predikatnya berkategori adjektiva (kata sifat)
Contoh:
• Badu ndia nggenggeok ‘baju itu kotor’
• Osi ele ba’u nan seli ‘kebun itu besar sekali’
• Fadik malelak ‘adik pintar’
Adjektiva nggenggeok ‘kotor’, ba’u nan seli ‘besar sekali’ dan malelak ‘pintar’ adalah adjektiva yang berfungsi sebagai predikat kalimat sederhana pada contoh tesebut.
e. Kalimat Preposisional
Kalimat preposisional adalah kalimat yang predikatnya berkategori preposisi (kata depan)
• Uman nai na ‘rumahnya di sana’
• Ai ndalan nai letek lain ‘kuda kami di atas gunung’
E. Kalimat Pertanyaan, Kalimat Pernyataan, Kalimat Perintah, dan Kalimat Seruan
Klasifikasi kalimat menurut fungsinya, kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, kalimat perintah, dan kalimat seruan.
a. Kalimat Pernyataan (Deklaratif)
Kalimat pernyataan dipakai jika penutur ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap pada waktu ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan berbahasanya. Biasanya ditandai dengan tanda baca titik (.). Contoh:
- Basa manesiola latonggo nai Kota. ‘semua kepala desa bertemu di Kupang.’
- Musu afik neme Lote ‘Kemarin terjadi perang di Rote’
- Kakanak ndia namahedi teuk dua ia so. ‘anak itu sudah sakit selama dua tahun.’
- Au ta uni doik fa boe. ‘saya tidak membawa uang sama sekali.’
b. Kalimat Pertanyaan (Interogatif)
Kalimat pertanyaan adalah kalimat yang dibentuk untuk memancing response yang berupa jawaban. Bagian akhir kalimat pertanyaan ditandai dengan tanda tanya (?). Pertanyaan sering menggunakan kata tanya seperti bagaimana, di mana, mengapa, berapa, dan kapan. Jenis-jenis kata tanya dalam bahasa Rote adalah se ‘siapa’, hata ‘apa’, be ‘mana’, bek ‘apa’, hida ‘berapa’, leobek ‘bagaimana’, fai hida ‘kapan’, hatina ‘mengapa’. Contoh:
- Hatina de kakanak ta bei sunggu? ‘mengapa anak itu tidak tidur?’
- Ndia nade se? ‘siapa namanya?’
- Fai hida o la’o muni Singapura mu? ‘kapan anda berangkat ke Singapura?’
- O tao bek ndia? ‘apa yang anda lakukan?’
- Deman hida? ‘tingginya berapa’
- Hata nai uma? ‘apa yang ada di rumah?’
- Au apadeik u be? ‘dimana saya berdiri?’
c. Kalimat Perintah
Kalimat perintah adalah kalimat yang dibentuk untuk memancing responsi yang berupa tindakan (Samsuri, 1985:276-278). Kalimat perintah ditandai dengan tanda seru (!) dan biasanya dipakai jika penutur ingin “menyuruh” atau “melarang” orang berbuat sesuatu. (Biasanya, intonasi menurun; tanda baca titik atau tanda seru). Kalimat perintah dalam hal menyuruh biasanya dalam bahasa Rote ditandai dengan leo. Sedangkan dalam hal melarang biasanya hanya ditandai dengan pemarkah boso, bo’o ‘jangan’. Contoh:
- Mu leo! ‘pergilah!’
- Nene leo! ‘diamlah!’
- Miu hule leo! ‘pergilah untuk meminta!
- Boso mamanasa! ‘jangan marah!’
- Bo’o mapue! ‘jangan beribut!’
d. Kalimat Seruan
Kalimat seruan dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan “yang kuat” atau yang mendadak. (Biasanya, ditandai oleh menaiknya suara pada kalimat lisan dan dipakainya tanda seru atau tanda titik pada kalimat tulis). Contoh:
- Ino, Barisi nan seli ‘wah, cantiknya’
- Na, ita tahanik ndia ia de ‘nah, ini dia yang kita tunggu’
- Ado, au ein hedis ‘aduh, kaki saya sakit’
F. Kalimat Aktif, Kalimat Pasif, Kalimat Medial, dan Kalimat Resiprokal
Klasifikasi kalimat menurut hubungan aktor-aksi,terdiri dari kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat medial dan kalimat resiprokal.
Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai pelaku aksi atau aktor. Subjek kalimat aktif berperan sebagai perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Predikat kalimat aktif terdiri atas verba transitif dan verba intransitif. Contoh:
- Niana ndia seu bunga nai osi ‘anak itu memetik bunga di kebun’
- Papa asa fe ka’ak badu beuk ‘ayah membelikan kakak baju baru’
- Ata ndia bei sapu uma pasan ‘pembantu itu sedang menyapu halaman rumah’
Pada contoh di atas, subjek niana ‘anak’ pada contoh pertama adalah pelaku aksi seu ‘memetik’; pada contoh dua, papa ‘ayah’ sebagai pelaku perbuatan (aksi) asa ‘membeli’; dan pada contoh ketiga, ata ndia ‘pembantu itu’ menjadi pelaku aksi sapu ‘menyapu’.
Kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita. Subjek dalam kalimat pasif berperan sebagai penderita perbuatan yang dinyatakan oleh predikat kalimat tersebut. Predikat kalimat pasif terdiri atas verba verba yang berpredikat di- yang dapat bekombinasi dengan sufiks -i dan -kan, beprefiks ter-, berkonfiks ke-an, dan verba yang didahului oleh pronominal persona (Samsuri, 1985:434). Dalam bahasa Rote, kalimat pasif ditandai dengan awalan nana- dan diakhiri dengan konsonan penutup -k. Contoh:
- Kadafuk ndia nanahotuk neme ha’i mai ‘sampah itu terbakat oleh api’
- Kofi ndia nananinuk so ‘kopi itu sudah diminum’
- Ai ndanak ndia nanabetak ‘ranting itu ditebang’
Pada contoh pertama, subjek kadafuk ‘sampah’ menjadi penderita perbuatan yang diungkapkan oleh predikat nanahotuk ‘terbakar’; pada contoh kedua, subjek kofi ‘kopi’ menjadi penderita perbuatan yang diungkapkan oleh predikat nananinuk ‘diminum’; dan pada contoh ketiga, subjek ai ndanak ‘ranting’ menjadi penderita perbuatan yang diungkapkan oleh predikat nanabetak ‘ditebang’.
Kalimat medial; adalah kalimat yang subjeknya berperan baik sebagai pelaku maupun sebagai penderita perbuatan yang dinyatakan oleh predikat tersebut. Contoh :
- Jangan menyiksa diri sendiri.
- Inanak ndia Wanita itu berhias di depan cermin.
Kalimat respirokal; adalah kalimat yang subjek dan objeknya melakukan sesuatu pebuatan yang berbalas-balasan. Verba yang berfungsi sebagai predikat pada kalimat respirokal dalam Bahasa Rote biasanya adalah verba yang beprefiks la-, dan la- … ao. Contoh :
- Bi’i no kamba lakedo ‘kambing dan kerbau saling beradu’
- Kakanak ala latutu ao ‘anak-anak saling berkelahi’
- Inak ala lahilak utu ‘para wanita saling cari kutu’
G. Kalimat Positif dan Kalimat Negatif
Klasifikasi kalimat berdasarkan ada tidaknya unsur negatif pada klausa utama, kalimat dibedakan atas kalimat firmatif (kalimat positif) dan kalimat negatif.
Kalimat firmatif yaitu kalimat yang berpredikat utamanya tidak terdapat unsur negatif, peniadaan, atau penyangkalan. Contoh :
- Hataholi tani ndia ana haha’I hadeoen ‘Petani itu membajak sawahnya’
- Ai mamanene halak lae musu manai Thie ana hahae so ‘Kami mendengar kabar bahwa pemberontakan di Thie sudah berakhir’
Kalimat negatif, yaitu kalimat yang predikat utamanya terdapat unsur negatif, peniadaan, atau penyangkalan, seperti tidak, tiada (tak), bukan, jangan. Penanda negatif dalam Bahasa Rote adalah ta ‘tidak, bukan’ dan boso, bo’o ‘jangan’ Contoh :
- Mae fa boe o au ta nau amana’o ‘biar sedikitpun saya tidak akan mencuri’
- Bo’o fe o fadin a nanono no ndia ‘jangan kau biarkan adikmu bergaul dengan dia’
Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Balukh, J. 2007. Pelajaran Bahasa Rote: Untuk SD Kelas 3. Kupang: UPTD Bahasa, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur.
Balukh, J. 2008. Pembentukan Verba nana- -(k) Dalam Bahasa Rote: Antara Pasif dan Antikausatif. Kupang: STIBA Cakrawala. Linguistika Vol. 15, No. 29.
Bloomfield, L. 1995. Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Cook, Walter A. 1971. Introduction to Tagmemic Analysis. London: Holt, Rinehart dan Winston.
Crystal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. London: Andre Deutsch.
Echols, Jhon dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fanggidae, A.M, dkk. 1998. Morfologi Bahasa Rote. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fokker, A.A. 1980. Pengantar Sintaksi Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.
Fromkin, Victoria dan Robeet Rodman. 1983. An Introduction to Language. New York: Holt, Rinehart dan Winston.
Keraf, Gorys. 1978. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas. Ende: PT. Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT. Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa Depdikbud.
Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Khatolik Atma Jaya.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Moeliono, dkk. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Parera, Daniel. 1978. Pengantar Linguistik Umum: Bidang Sintaksis. Ende: PT. Nusa Indah.
Ramlan, M. 1995. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.
Roberts, Paul. 1964. English Syntax. New York: Harcourt Brase & World, Inc.
Rusmadji, Rustam. 1993, Aspek-Aspek Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Bandung.
Saidi, Shaleh. 1994. Linguistik Bandingan Nusantara. Ende: PT. Nusa Indah.
Samsuri. 1985. Tata Bahasa Indonesia Sintaksis. Jakarta: Sastra Budaya.
Tarigan, Henry. 1984. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angasa.
Verhaar, 1970. Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Verhaar, J. W. M. 1995. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wirjosoedjarmo. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Wijaya.
Label: SINTAKSIS